Yang Untuk Allah Itulah Yang Kekal

Yang ikhlas untuk Allah, itulah yang kelak baka. Dari amalan besar, hingga terkecil. Penjagaan amal itu tidak semata di konsistensinya, melainkan di keikhlasannya.

Dahulu banyak orang tua santrenkan anaknya agar kelak diundang kemana-mana, agar dihormati, agar bisa baca doa di event religius dan seterusnya. Namun banyak kemudian yang gagal. Walau memang ada yang kesampaian sesuai keinginan orang tua. Sayangnya, sesuai. Ilmu yang cetek agar diundang kemana-mana, dihormati, dan seterusnya. Sekadar hendak kaya karena hadiah kajian, namun kemana perginya berkah amal kemudian?

Selalu kita perlu menata hati, belajar ini untuk apa?

Mungkin kita guru agama atau dai. Lalu semua yang selama ini rutin kita pelajari jangan-jangan sekadar persiapan untuk mengisi kajian, bukan mengisi hati. Khalayak boleh ramai, parkiran boleh tak muat, masjid boleh terbanjirkan, tapi ada satu di sana yang tak diisi sama sekali: hati.

Mungkin kita suka hafal al-Qur’an. Rupanya agar kita jadi imam. Rupanya supaya dianggap banyak hafalan dan tak membosankan. Sampai kita belajar nada juga. Supaya beda. Supaya pada betah di belakang. Kalau bisa, supaya tidak digantikan. Tapi urusan tadabbur, kita mundur. Urusan mengkaji, kita tak sudi hati. Di ramai, alunan kita bergema. Di sendiri, bacaan kita sederhana. Di samping mimbar, tetiba khusyu’. Di rumah sendiri, ternyata busuk.

Mungkin kita suka hafal hadits. Rupanya agar tampak banyak hafal hujjah. Bukan untuk disimpan di hati dan diamalkan raga. Rasanya nampak takjub kalau sudah terlisankan “Rasulullah berkata:….” Ini tidak buruk bahkan bagus. Hanya apa betul hadits yang kita hafal ini masuk ke hati?

Yang ikhlas untuk Allah, itulah yang baka.

Saya kenal beberapa pemuda. Dahulu semangat sampai kadang mempertanyakan beberapa rekan yang tak sekencang dirinya. Kini saya tidak kenal mereka. Mereka hilang dari aura agama. Futur. Dunia. Saya tidak temukan agama menjadi arti yang paling berarti bagi hidup mereka.

Iya.

Jika memang kita cari dunia, popularitas, jabatan dan keterpujian semata, suatu masa kelak akan ada titik jenuhnya. Apalagi orang sudah tak sudi lagi dengan gaya kita.

Tapi jika memang kita mencari wajah Allah, makin lama makin memahami bahwa khawatir amalan hangus adalah rasa yang begitu mahal. Saking mahalnya kekhawatiran itu, banyak orang bahkan bisa jadi sampai taraf penuntut ilmu, penghafal al-Qur’an atau al-Hadits tidak mau membelinya. Karena khawatir, jika ia membeli perasaan itu, ia akan kehilangan dunianya.

📚 Ust. Hasan al-Jaizy, Lc

🔗 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2849413071766726&id=100000941826369

Related Post